Skip to main content

TAMBUN, TUA DAN BERUBAN ADALAH KENIKMATAN

“Bapak itu kepala bagian apa ya, Mbak?” tanya seseorang kepada teman se-lift-nya. Dia bertanya sambil mengarahkan kerlingan mata ke pria yang baru saja keluar lift. Pria tambun itu hanyalah staf biasa. Dia baru beberapa tahun bekerja di kantor ini. Posturnya menyalip karirnya.

***

“Selamat siang, Pak,” sapa resepsionis dengan wajah sungkem ke sosok beruban yang dia temui di depan pintu lobi. Sapa kepada orang yang berada di samping sosok beruban itu bukan “Pak” tapi “Mas”. Resepsionis berwajah mellow  itu tersipu malu ketika mengetahui bahwa sapaannya salah alamat. Pria beruban itu adalah bawahan pria tak beruban.

***

Berjam-jam sudah Andi negosiasi berbusa-busa dengan klien. Pembicaraan itu nyaris tak berujung kesepakatan. Datanglah Rozak menyelamatkannya.  Junior berwajah “boros” itu tak butuh waktu lama. Pembicaraannya hanya diawali dengan dehaman ala bassis paduan suara. Selanjutnya klienlah yang mencerocos dan ditutup dengan sepuluh dua puluh kata.Lalu, deal!

Pisuh si Andi dalam hati, “Wajah baby face ternyata tak bertuah di kantor itu!”

***

“Mbo, besok temenin gue ke WP, ya! Tapi seperti biasa, elu diem aja."

Jimbo memang biasa dibon oleh teman-temannya, meskipun tidak satu tim. Dia dibon karena bodi dan wajahnya sangar menggelegar. Meski demikian, Jimbo harus selalu diam, karena ternyata suaranya seoktaf dengan Soimah. Kalau sampai bersuara, bisa runtuh dunia per-Hanoman dan per-Bima-an.

***

"Turun di depan Koramil, Pak!" seru seorang kawan kepada sopir bus sore itu. Sang sopir manut pada teriakannya. Tempat penurunan itu jelas bertanda “S” bercoret. Asal tahu saja, kawan saya bukanlah seorang anggota TNI/Polri. Dia hanyalah pria biasa berambut cepak.

***

Adalah naif meyakini 100% jargon "Jangan menilai buku dari sampulnya". Mata adalah indera pertama yang paling dipercaya pemiliknya. Seeing is believing kata orang Barat. Maka orang yang tak memanfaatkan kenisbian mata adalah orang yang merugi. Setidaknya rugi dua tiga pulau negosiasi yang bisa dipatahkannya tanpa banyak patah kata. Setidaknya otot-otot leher bisa sedikit lebih rileks akibat tak perlu ngotot berdiskusi panjang lebar, atau menghemat seribu dua ribu kata yang setara dengan seporsi Bakso Solo dan semangkuk Es Campur.

Memiliki wajah awet muda bisa jadi sebuah anugerah, menurut versi majalah fashion, produsen make up, dan acara infotainment. Tapi mungkin hanya sebatas itu, dikagumi lantaran kulitnya yang mulus bak manekin plastik.

Untuk urusan lainnya, tunggu dulu. Apalagi untuk urusan kemudahan hidup. Bagi orang berwajah dewasa (yang biasanya diasosiasikan dengan kemapanan) menyetop taksi tak pernah menjadi urusan sulit. Disaat yang sama, para pria berwajah anak SMA akan membuat sopir taksi berpikir lima kali lebih mbulet. Dia harus berhitung dengan kemampuan calon penumpangnya.

Ini bukan tentang gila hormat, tapi tentang rasa aman dan rasa percaya. Rasa yang berhasil didapat oleh pemilik syarat fisik di atas.

Percayalah, menjadi gemuk, beruban, berwajah tua, bahkan menjadi keriput sekali pun, adalah berkah sisi lain kehidupan.  Berpenampilan tak komersial sering kali menjadi kemewahan hidup tersendiri; mengalahkan kecantikan, keawetmudaan dan kegantengan. Berpenampilan bak artis sering hanya berakhir di pelupuk mata.


Tentu saja tetaplah merawat tubuh dan menjadi rapi, karena sesungguhnya merawat tubuh adalah salah satu cara mensyukuri nikmat Ilahi. Dan tetaplah menjaga kesehatan, karena apalah arti kewibawaan bila dihantui risiko jantungan.

#tua #tambun #beruban #bersyukur #selalubersyukur #optimis #selaluoptimis

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada