Skip to main content

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?"

"Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?"

***

"Mbak asalnya dari mana?"

"Jakarta."

"Aslinya?"

"Purwokerto."

***

"Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya."

"Total berapa tahun di Surabaya?"

"Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini."

***

"Aslinya mana Mas?"

"Blitar."

"Blitar mana?"

"Wlingi."

"Oh, Blitar coret, toh."

***

Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngobrol atau pertanyaan pembuka buat pegawai new comer di kantor.

Sebagai penanya saya berharap menemukan satu jawaban saja, tanpa harus melakukan konklusi pribadi. Atas jawaban itu selanjutnya saya bisa menyimpulkan (baca: mengeneralisir) segala aspek hidup orang yang kita tanyai, mulai dari kebiasaan berkomunikasi, etika, adat istiadat sampe makanan.

Sebagai orang yang ditanya, saya akan berharap menjawab sesimpel mungkin. Bila perlu cukup satu kata, Malang.

Tapi seringkali jawaban yang keluar tidak sesederhana itu. Karena - ya itu tadi - ternyata pertanyaan dan jawaban ini akan terkait sama proses "biasanya orang sini".

Biasanya orang sini itu supel. Biasanya orang sini itu pelit. Biasanya anak kota ini itu tukang pamer. Dan biasanya-biasanya yang lain.

Maka setelah itu, akan timbul pertanyaan dan jawaban lanjutan. Pertanyaan dan jawaban yang lebih spesifik, guna mendapatkan stereotype yang lebih akurat.

Tapi ya itu tadi, keakuratan tebakan seringkali meleset dengan sendirinya, karena orang kota ini yang terkenal pelit itu baru dua puluh sekian tahun tinggal di situ. Selebihnya dia tinggal di kota yang penduduknya terkenal slengekan. Maka melesetlah hipotesis tentang orang kota pelit ini.

Belum lagi jika pertanyaan asal itu dikaitkan dengan variabel asal bapak dan asal ibu. Bapak dari kota yang terkenal suka pesta, sementara ibu berasal dari daerah yang terkenal sangat ewuh pakewuh, lalu si anak lahir di kota yang terkenal sebagai kota santri.

Pertanyaannya adalah, apakah pertanyaan itu masih relevan untuk ditanyakan?

Comments

Popular posts from this blog

LALU KENAPA KALO NDAK NGIKUT TREN?

Dari ujung kepala sampai ujung kaki harus bermerek. Dari pomade sampe sepatu harus yang ada di iklan. Kalo kurang satu aja berasa incomplete. Been there done that, dan capek. Hampir semua yang pernah muda pasti pernah melaluinya. Kalo ndak, ada dua kemungkinan. Dari kecil langsung tua, atau ndak ngikuti arus jaman. Manapun pilihannya, saya ucapkan selamat. Karena -sekali lagi - ngikuti arus jaman itu lelah, melelahkan. Tivi "nyuruh" kita pake merek ini atau itu dengan "alasan" biar keren dan dianggap "eksis". Kenapa saya kasi petik dua? Karena mereka tak secara langsung nyuruhnya. Pakailah sampo nganu, biar kaya Beckham. Koran, majalah dan internet juga setali tiga uang. Apa coba hubungannya Messi berpose sama henpon cina berwarna goldie? Messi juga tak mungkin - logika saya ya - memakai henpon cina. Oh, saya lupa. Ada teori yang bilang manusia akan selalu mengaitkan dua hal yang dijejerkan. Foto Kanye Wes kalo dijejerkan dengan Kim Kardashian, pasti akan

ATEIS BINGUNG

Dalam sebuah ceramahnya, Almarhum K.H. Zainuddin M.Z. pernah menganalogikan seorang ateis itu sebagai orang yg kebingungan. Dikisahkannya, ada seorang lelaki yg membutuhkan sepotong celana untuk dipakainya sendiri. Dia lihat semua merek, dia coba semua merek, lalu dia bingung dengan semua merek. "Semua enak dipakai, semua bilang paling trendy." "Jadi, mau pilih yg mana?" "Saya telanjang saja, saya nggak pilih yg mana-mana, saya bingung." Beberapa orang ateis memilih untuk tak beragama karena kebingungan. Bingung karena katanya semua agama menawarkan kebaikan, kedamaian dan hal-hal baik lainnya. Maka oleh sebab itu dia memilih untuk tidak bercelana. Maksud saya tidak beragama. "Tuhan, percayakah Engkau bahwa aku seorang ateis?" (Joko Pinurbo, 23.44 - 28 Jan. 2012) #haduhakudifollow #jokopinurbo