Skip to main content

MENJAWAB TANTANGAN GENERASI Z

"Pada Tahun 2015, populasi dari generasi ini sebesar 25,9% dari total penduduk Amerika Serikat. Mereka penyumbang populasi terbesar jika dibandingkan dengan dua generasi sebelumnya. Dalam perekonomian Amerika, mereka menyumbang US$ 44 Miliar. Pada tahun 2020, mereka akan mencapai sepertiga populasi Amerika Serikat."


Tak ada kisaran baku yang bisa dijadikan sebagai patokan kapan mulai dan berakhirnya tahun lahir generasi ini. Konsultan multinasional di bidang sumber daya manusia, Randstad Holding NV menyebutkan tahun 1995 sampai 2014 sebagai tahun kelahiran Generasi Z. Pusat penelitian McCrindle Austraia menyebutkan tahun 1995 sampai 2009, sementara konsultan Sparks and Honey dan penulis Jean Twenge hanya menyebut anggota generasi ini adalah siapapun yang lahir tahun 1995 dan setelahnya.

Generasi ini digambarkan sangat dekat dengan teknologi, utamanya teknologi komunikasi. Tak mengherankan karena teknologi komunikasi tumbuh kembang pesat di tahun-tahun mereka dilahirkan. Mulai dari komputer, internet, ponsel cerdas sampai aplikasi-aplikasi komunikasi instan. Perkembangan teknologi membawa dampak pada kemudahan segala hal, mulai dari mendekatkan jarak dalam bentuk komunikasi mudah dan murah, sampai tersedianya jutaan informasi yang dapat diperoleh dengan segera, kapan pun dan di mana pun. Majalah forbes pernah menuliskan, ketika generasi ini memasuki dunia kerja, teknologi digital akan melingkupi seluruh aspek jenjang karir mereka. 

Dengan segala kemudahan itu, generasi ini adalah generasi yang tumbuh berkembang dengan cara berpikir yang instan, mencari sekarang memperoleh sekarang. Hampir tak ada jeda waktu antara effort dan result yang mereka peroleh. Kemudahan-kemudahan itu membentuk karakter cepat dalam bertindak dan menentukan keputusan. Marcie Merriman, direktur eksekutif strategi pertumbuhan di Ernst & Young mengatakan ketika mereka mengerjakan sesuatu dan tidak memperoleh hasil yang diinginkan, mereka akan berpikir dengan cepat bahwa ada sesuatu yang salah di sana. Mereka mengharapkan partner bisnis yang menghargai dan loyal. Ketika mereka tidak menemukannya, mereka tetap akan berjalan maju, entah bagaimana caranya. 

Beberapa kalangan usaha menyebutkan banyak dari generasi ini memulai fase bekerja ketika usia mereka masih tergolong remaja, antara 16 - 18 tahun. Kebanyakan mereka memilih untuk meninggalkan jenjang pendidikan tradisional. Alih-alih menghabiskan usia remaja dengan bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi, mereka lebih memilih untuk berbisnis sembari menuntut ilmu dengan sistem edukasi on-line. Hal ini sejalan dengan pemikiran Deep Patel, seorang ahli pemasaran Gen Z dari India. Dia menyatakan bahwa perkembangan teknologi dan dunia yang terhubung tanpa batas menghasilkan generasi yang berpikir dan bertindak secara enterpreneur. Mereka menginginkan suasana kerja yang lebih mandiri. Pernyataan ini didukung dengan penelitiannya yang menyebutkan bahwa 72% remaja ingin memulai bisnis suatu hari nanti. Dan di hari-hari ini sudah tak terhitung berapa kali kita disodori berita tentang keberhasilan pebisnis muda, miliarder muda, artis muda sampai seleb medsos dan instagram dengan penghasilan mingguan yang telah menembus sembilan digit.

Pertanyaannya adalah, sudah siapkah Direktorat Jenderal Pajak menghadapi booming miliarder Generasi Z?

Pepatah bijak berkata, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dengan asumsi dilahirkan pada tahun 1995, maka generasi pertama dari generasi ini sudah berusia 21 tahun ketika Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, menandatangani surat keputusan mengenai Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan. Anggota generasi pertama ini bisa jadi telah melakukan bisnis dengan omset milyaran rupiah dengan kontribusi pajak yang bisa jadi tidak mudah untuk ditelusuri jejaknya. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak perlu untuk menekan gas dalam-dalam dan berakselerasi lebih cepat dalam hal pemutakhiran basis data, agar dapat mengejar laju generasi Z yang lebih dulu start di pole position. Atau setidaknya tidak menjadi pembalap yang di over lap oleh mereka.

Kata bijak lain mengatakan tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan. Perubahan yang mengarah pada perbaikan secara kontinyu perlu selalu disemangatkan. Perubahan sistem setoran pajak dari Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi sistem ebiling - yang pada awalnya menghambat penerimaan negara - cepat atau lambat akan sangat diperlukan untuk mengakomodasi kecepatan bekerja pebisnis-pebisnis generasi Z. Generasi Z, generasi multi tasking, yang sudah terbiasa melakukan order di tangan kiri dan mengeksekusi pembayaran di tangan kanan. Direktorat Jenderal Pajak perlu menyadari karakter ini dari Generasi Z sebagai partner bisnisnya, baik saat ini maupun di masa mendatang. Bila perlu, Direktorat Jenderal Pajak mengadakan riset teknologi demi mengejar layanan yang lebih praktis, ekonomis dan efisien, dengan menerapkan pola pikir terkini. Mulai dari pendaftaran NPWP, pelaporan SPT sampai penyetoran pajak. Hingga kita tak lagi menjumpai frasa “mengurus pajak itu sulit” dari para pelaku bisnis-pelaku bisnis muda ini. 

Tak mudah menjawab tantangan ini. Direktorat Jenderal Pajak menghadapi tembok besar,  baik dari eksternal maupun internal. Bukan hal yang mudah melakukan sinkronisasi layanan dengan aturan yang ada. Perubahan undang-undang dan aturan turunannya (melalui proses birokrasi yang panjang) sering kali tak dapat serta merta mengakomodasi kecepatan teknologi dan perubahan zaman. Padahal, keterlambatan sepersekian detik dalam berakselerasi akan menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan sekian miliar rupiah.

Tetapi sekali lagi, perubahan ini bukanlah pilihan. Jika dinosaurus tak mampu meninggalkan penerusnya karena tak mampu beradaptasi, maka Direktorat Jenderal Pajak harus mampu berlari jika tak ingin kehilangan banyak rupiah untuk menyokong keuangan negara.

#reformtoperform










Comments

  1. Widiiiih... tulisane saiki sudah ngartikel banget.. ada latar belakang statistiknya. Kereeen.

    ReplyDelete
  2. Apik tenan tulisane, aku baru tahu blog nya sampean

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah, matur nuwun Mas. Iya ini jarang dikunjungi, hehehe

      Delete
  3. Apik tenan tulisane, aku baru tahu blog nya sampean

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada