Skip to main content

TUTUPNYA LANGGAR KAMI




Pada waktu lampau, terdapatlah sebuah Langgar yang selalu penuh sesak ketika tiba waktu sholat yang lima. Langgar satu-satunya di Desa Mrinthil ini, meskipun kelihatannya kecil tapi mampu menampung sampai enam puluh jamaah. Dari yang tua sampai yang balita, dari perempuan sampai para lelaki, selalu memenuhi semua baris shaf.
Anak balita? Ada. Mereka diajak oleh orang tuanya, karena para orang tua ingin mengenalkan dan membiasakan jamaah di Langgar buat anak-anak mereka. Yang balita digandeng, bersebelahan dengan orang tuanya. Anak yang lebih dewasa dijajarkan dibelakang baris dewasa, di depan baris perempuan. Tapi ya itu, namanya juga anak-anak, ramai, salah gerakan, bahkan celotehan pun sudah biasa. Maklum lah, namanya juga anak-anak.
Sampai suatu ketika, Pak Tarub, seorang jamaah paruh baya mengeluh kekhusyukannya terganggu. Karena tingkah bocah-bocah balita, yang sering berlari-lari, lalu menaiki punggung bapaknya ketika sujud, dan tersungkur ketika bapaknya duduk. Beliau pun lantas matur ke Mbah Imam, lelaki tujuh puluh tahun, yang seperti namanya, menjadi imam tetap Langgar Desa Mrinthil.
"Mbah Imam, saya ini merasa sholat saya semakin ndak khusyuk belakangan ini," kata Pak Tarub.
"Lah kenopo toh, Pak?" tanya Mbah Imam.
"Itu loh, anak bayi-bayi itu, sering bikin gaduh. Celotehan sama tingkahnya, Mbah! Mbok mereka dilarang saja!" usul Pak Tarub.
"Lah, mosok aku mau ngelarang-ngelarang? Kan ndak enak to. Lagian itu kan bagian dari pembiasaan berjamaah di Langgar." jawab mbah Imam.
Pak Tarub semakin serius "Bukan saya aja loh Mbah, yang ngerasa ndak khusyuk. Banyak! Dan lagian anak-anak kan belum kecatet pahalanya, kita yang sudah baligh ini lah yang salah kalo ndak khusuk."
"Yoh wis, besok aku ngomong ke mereka yang biasa bawa bayinya ke sini. Biar ditinggal di rumah masing-masing kalo pas jamaahan," Mbah Imam menyanggupi.
Singkat cerita, Mbah Imam pun menyampaikan pesan ketidak-khusyukan tadi kepada para jamaah. Selang beberapa hari, Langgar sudah tidak lagi berisi jamaah bayi. Beberapa jamaah dewasa bahkan kelihatan masbuk karena harus nylimurno bayinya dulu, atau mengendap-endap biar tidak ketahuan balita mereka.
Sudah khusyuk sholatnya Pak Tarub? Sepertinya begitu. Hanya saja, dia merasa alangkah tambah afdhol jika obrolan para abg tanggung di belakangnya, ikutan senyap juga. Kali ini dia sungkan mau lapor ke Mbah Imam. Pak Tarub pun berinisiatif turun tangan langsung. Beliau pasang muka garang, menghardik satu per satu jamaah anak ketika mereka memasuki Langgar.
Langkah Pak Tarub berhasil. Masjid menjadi tertib, tak ada lagi kegaduhan suara anak, seiring ketiadaan jamaah anak-anak. Mereka takut dan ndak nyaman dengan ancaman Pak Tarub. Tidak semua memang, tapi yang tersisa pun hanya beberapa anak kemarin-kemarin tidak hadir di Langgar, yang ternyata keesokan harinya, memilih bergabung dengan teman-temannya yang lebih dulu pergi.
Sekarang, tiga puluh tahun dari awal cerita di atas, Langgar Desa Dalam, sepi. Mbah Imam sudah wafat dua puluh tahun yang lalu. Disusul beberapa jamaah lain yang memang sudah sepuh dan sakit tua. Sekarang, hanya ada dua orang sepuh di Langgar ini, yang silih berganti adzan, iqomah dan imaman-makmuman. Entah sampai kapan.
Lalu kemana jamaah yang lain?
Para pemuda Desa Mrinthil sepertinya sudah tidak lagi mengenal Langgar, berjamaah, bahkan sholat. Pemuda ini lah, yang dulu ketika balita tidak dibolehkan, dilarang, tidak dibiasakan ke Langgar, karena mengganggu kekhusyukan. Bahkan mereka tidak tahu menahu kalo bapak-bapak mereka rajin berjamaah di Langgar, karena dislimurno dengan mengendap-endap ketika berangkat ke Langgar. Saat ini, mereka lebih kerasan di warnet, persewaan play station atau rumah game on-line, dari pada ke Langgar. Mereka khusyuk di sana.
Lalu bagaimana dengan para dewasa? Sebelas dua belas dengan para remajanya. Ketika masih anak-anak, mereka kapok dengan hardikan Pak Tarub. Mereka memilih untuk bermain umbul, kelereng atau mandi di sungai, daripada sholat dibawah ancaman. Sekarang? Mereka rajin sekali ngumpul di warung kopi dua puluh empat jam. Warkop ber-wifi, diiringi dangdut koplo, bau alkohol dan domino. Entah apa yang mereka perbuat.
Umur Langgar Desa Mrinthil sepertinya tidak akan berselang lama. Tergantung kapan Pak Tarub, dan satu jamaah lainnya, tutup umur.
***
Abdullah bin Syadad meriwayatkan dari ayahnya :
“Rasulullah SAW keluar untuk melakukan salah satu sholat I’sya’ain (mahghrib dan i’sya). Beliau membawa Hasan as atau Husain as. Beliau maju kedepan dan meletakkan cucunya di bawah. Kemudian beliau takbir untuk sholat dan lalu sujud. Beliau memanjangkan sujud. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata cucu beliau tengah menaiki punggung Rasulullah SAW, yang sedang sujud. Aku kembali sujud. Setelah beliau menyelesaikan sholatnya, orang-orang berkata:
“Ya Rasulullah, Anda tadi sujud dalam sholat begitu lama sampai-sampai kami mengira terjadi sesuatu atau Anda mendapat wahyu .“

Beliau menjawab: “Itu semua tidak terjadi. Tetapi tadi anakku menaikiku, aku tidak ingin mempercepat (mengganggunya) sampai dia menyelesaikan hajatnya.“ (Shahih al-Nasa’i jilid 1 hal 171)

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada