Skip to main content

TAK SUNGGUH-SUNGGUH MEMINTA RAMADHAN



اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانٍ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah hidup kami di bulan Rajab dan Syakban
dan sampaikanlah usia kami hingga bulan ramadhan”.


***

Tak semua pemanjat doa diatas dikabulkan permintaannya oleh Allah SWT. Beberapa teman dan saudara kita bahkan lebih dulu menghadap Allah sebelum tarawih pertama dilaksanakan. Bahkan seorang Muhammad Ali dipanggil beberapa hari sebelum sempat mencicipi makan sahur pertamanya di Ramadhan tahun ini. Maka berbahagialah Kita yang masih bisa menjumpai Ramadhan untuk kesekian kalinya. Ucapan selamat patut diucapkan kepada Kita, karena Allah memilih Kita untuk menjadi salah satu hambaNya yang diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas keberlipatan pahala yang tiada tara, Hanya di bulan ini, Ramadhan.

Doa adalah permintaan. Permintaan yang serius menjadi salah satu syarat dikabulkannya permintaan. Serius tidaknya sebuah permintaan tidak hanya dinilai ketika permintaan itu diucapkan, ketika doa dilantunkan dengan tetesan air mata, dengan suara mengiba dan hati yang merendah. Permintaan yang serius juga dinilai ketika permintaan itu sudah dikabulkan.
Beberapa dari kita yang telah dititipi amanah anak tentu pernah merasakan rengekan anak ketika meminta dibelikan mainan. Sinar mata, nada suara sampai tangisannya membuat kita tak tega untuk tak menurutinya, meskipun terkadang kita mengelus dada ketika mengingat betapa sulit mendapatkan rupiah-rupiah yang akan kita belanjakan demi sebuah mainan. Rasa selanjutnya ditentukan ketika permintaan anak telah kita turuti. Perasaan lega dan senang otomatis muncul ketika mainan yang diminta dan kita belikan benar-benar dimanfaatkan dan dijaga oleh anak kita. Sebaliknya, perasaan sedih dan mangkel lah yang keluar ketika mainan itu hanya berumur pendek dan tak digubris sama sekali setelah satu dua kali pakai.

Jauh sebelum Ramadhan tiba, kita telah merengek meminta dipanjangkan usia supaya bisa menikmati keistimewaan Ramadhan. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa Kita. Lalu apa yang terjadi? Ternyata kita menyia-nyiakannya. Di bulan yang penuh barakah ini, ternyata kelakuan kita sama saja dengan bulan-bulan sebelumnya, atau bahkan lebih parah. Setelah makan sahur, lalu tertidur akibat kekenyangan, lewatlah saat sholat subuh berjamaah di Masjid. Al-Quran pun disentuh hanya sebanyak bulan-bulan sebelumnya, tak lebih. Sholat-sholat sunnah pun tak juga bertambah jumlahnya. Saat buka puasa tiba, kalapnya tiada tara, seakan-akan lupa dengan makna puasa yang mengajak prihatin dengan laparnya saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Jika demikian, patut kah kita mendapatkan perasaan senang dari Allah? Bagaimana bila privilege kita dicabut oleh Allah lebih cepat? Bagaimana jika jatah Ramadhan tahun depan kita tak lagi diberikan, seperti kita yg mengembargo anak kita dengan tak lagi membelikan mainan? Bagaimana jika Allah jengkel sama kita?

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Tak apa lah memaksimalkan sisa yang sedikit dari pada tidak sama sekali. Atau masih mau berjanji (lagi dan lagi) akan menjadi lebih baik di Ramadhan berikutnya? Sebaiknya tidak, mengingat tak ada jaminan umur, kita optimalkan waktu yang tersisa. Kita kuatkan fisik, kesampingkan obsesi yang lain, efisienkan tidur, fokus dan gencarkan segala tilawah, sholat, sedekah dan amal ibadah yang lain.

Anggap saja ini adalah Ramadhan terakhir kita. BIla kita beruntung, bisa jadi Allah akan menambah jatah Ramadhan kita tahun depan. Bila tidak, kita tetap bisa bersyukur sudah memaksimalkan Ramadhan yang tersisa. Ramadhan yang (ternyata) tak semua orang bisa memperolehnya.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada