Skip to main content

IF YOU ARE NOT SPY, SHOW YOUR WORK


“Dev, jangan lupa ya, foto acara tadi dipilih, trus ditayangkan di koran. Bila perlu, kita beli penuh sehalaman koran itu!”

Begitu kata saya punya Big Boss. Beliau request saya untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan apapun kegiatan Beliau dan kantor kami.  Semua, setiap kegiatan difoto, divideokan, dipublikasikan di media cetak dan televisi,  dipigura dan diarsip dengan baik. Malah Beliau (pernah) meminta dibuatkan tim khusus dokumentasi, yang (sayangnya) sampai akhir masa jabatan Beliau, tidak terlaksana karena sesuatu dan lain hal.

Dalam hati saya menggerutu, “ini Bapak nggak ikhlas banget sih dalam bekerja, sampai segitunya pekerjaanya minta dicatat dan dipamerkan!”.

It was about seven years ago, dan baru belakangan ini saya merasakan perlunya dokumentasi dan publikasi, yang seringnya cuman jadi seksi ecek-ecek didalam setiap kepanitiaan. Dan ini saya bilang penting, bukan karena saya hobi memotret ya, tapi karena ini,
Satu,

Orang nggak akan selalu tahu tentang apa yang sudah, sedang dan yang akan Anda kerjakan. Mereka punya kesibukan sendiri-sendiri, dan nggak ada waktu untuk ngurusi bagaimana dan apa hasil kerja Anda. Dan sejak pepatah “rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri” telah mengakar kuat dibenak manusia, maka orang lain hanya (dan hanya) akan melihat bagian yang enak-enak saja dari kehidupan kita.

“Enak ya, Bapak itu kerjaannya cuman ongkang-ongkang sambil klak-klik komputer, gajinya gede!” (percakapan OB sebuah gedung bertingkat 67)

Atau,

“Ndro, Elu gue bayar buat nyelesain kerjaan accounting. Bukannya malah ngopi santai di pantry kaya gini!” (waktu percakapan jam 12 siang, waktu istirahat Indonesia Bagian Barat)

Diatas, sedikit contoh dari banyak percakapan satu arah yang bikin sakit ulu hati kalau kita mendengarnya. Pengen langsung nonjok mulut yang mengucapnya adalah salah satu reaksinya. Itulah salah satu alasan why we should show our work.

“Tapi saya kan ikhlas, Mas!”, kata seorang mbak-mbak komentator fesbuk.

Ikhlas itu urusan Anda sama Tuhan, Mbak. Hanya Tuhan dan Mbaknya sendiri yang tahu isi hati Mbak. Kami yang makhluk-Nya ini, nggak punya kemampuan sampai kesana. Mana tahu kami Mbak ikhlas apa nggak, sampai mbak berkata “Saya ikhlas, kok!”.

“Tapi saya kan nggak pengen sombong atau pamer!”, mbak itu komen lagi.

Gini ya, Mbak! Yang tahu Mbak sedang pamer apa nggak itu cuman Mbak dan Tuhan. Sekalipun Mbak nggak mempublikasikan hasil kerja, tapi dalam hati mbatin “Aku dong hebat, jam segini uda nyelesain seabrek kerjaan!” itu juga pamer, Mbak. Riya dan  ujub kalau istilah arabnya.

“Ah, saya sih nggak peduli apa kata orang. Yang penting Tuhan! Kan Dia Maha Tahu.”, kali ini komen seorang Mas-mas.

Tuhan Maha segalanya, Mas! Maha Tahu dan Maha Pemaaf. Tuhan juga Maha Pengertian sama makhluknya. Lah kalau Boss Anda yang manusia itu, dia nggak Maha apa-apa, Mas! Dia nggak tahu kalau kita kerja jungkir balik seharian memeras otak. Ujug-ujug aja dia ketemu kita pas kita lagi ngerokok di belakang kantor, ya langsung tertanam lah di otaknya, “Eh, si Anu jam segini uda ngebul aja di belakang. Ga kerja apa dia?”. Padahal kita habis lembur tanpa ongkos semaleman. Tahu kah dia? Saya rasa tidak. Langsung marah-marah masih bagus, lah kalau langsung mecat Mas?

“Saya sih ndak mau, Mas. Itu kan pencitraan, dosa loh mbohongi orang.”, mbak yang lainnya ikutan nimbrung.

Mbak ini masih terbawa emosi pilpres rupanya. Dari dulu yang namanya pencitraan itu sudah ada, Mbak. Suka liat sinetron? Pasti liat iklan-iklannya juga kan? Tahu iklan sampo, yang menjual rambut berkilau dan lurus panjang pasti diingat semua orang? Nah itu salah satu bentuk pencitraan juga, mbak. Apakah mereka membohongi banyak pemirsa? Saya rasa nggak. Entah karena efek bombardir iklan atau sudah dari sananya, mindset kebanyakan orang lebih menyukai yang berambut lurus. (note: rambut saya keriting ya) Pencitraan yang membohongi, saya sependapat dengan Anda, saya tidak setuju. Tapi pencitraan dalam artian show your work, saya kira masih sangat diperlukan. Dan karena memang kita bekerja, bukan?

Buat Anda yang PNS (baca: pegawainya rakyat, bukan pegawainya kepala dinas atau kepala daerah), show your work penting, biar rakyat yang menggaji Anda tahu bahwa uang mereka tidak sia-sia. Buat mereka tahu bahwa mereka telah menggaji orang yang benar. Show our work akan membuat masyarakat tahu bahwa uang pajak mereka digunakan dengan baik. By the way, tahukah Anda berapa KTP dalam setahun yang diterbitkan oleh kelurahan atau kecamatan dilingkungan Anda tinggal? Bisa jadi kita tahunya hanya “Pegawai kelurahan, sudah digaji tapi pekerjaannya nggak jelas dan lama.”.

Buat Anda pegawai swasta, show your work itu penting, agar Pak Juragan Anda merasa tenang karena telah meng-hire orang yang tepat, yang mau bekerja keras. Dan tentu saja, mereka tidak merasa sia-sia telah mengeluarkan sedemikian banyak uang untuk membayar Anda.

Kedua,

Sejarah tidak akan terjadi jika tidak ada yang menuliskannya. Mungkin tetap terjadi, tapi tidak ada yang tahu bahwa peristiwa itu pernah ada. Tahu dari mana kita kalau Presiden Soekarno itu disegani oleh banyak pemimpin dunia kalau tidak ada yang mendokumentasikan dan mempublikasikan foto Beliau dengan JFK atau Nikita Kruschev? Percayakah kita kalau Jenderal Besar Soedirman sakit parah jika tidak ada yang mendokumentasikan Beliau kemana-mana membawa tongkat dan ditandu? Dan percayakah kami kalau Anda bekerja di kantor pembantu presiden ketika Anda pulang pergi ke kantor selalu memakai sandal jepit? Yess, jangan bercerita kalau Anda orang penting di BUMN mentereng sementara Anda mempublikasikan diri Anda sebagai orang yang kemana-kemana bersendal jepit. Bahkan menghargai diri sendiri pun Anda tak tahu, bagaimana orang akan menghargai Anda?

“Yang penting kan kerjanya, Mas! Bersepatu tapi nggak produktif ya sama aja bohong. Almarhum Bob Sadino aja kemana-kemana bercelana pendek.”, kata bapak-bapak disebelah saya.

Lalu, Anda siapa? Terkenalkah Anda? Om Bob kan sudah terkenal, makanya semua orang paham dan maklum sama kebiasaan Beliau. Bagaimana Beliau bisa terkenal? Sudah tak terhitung banyaknya foto beliau dan artikel yang membahas tentang kesuksesan Beliau. And again, that is the power of documentation and publication. Oh iya, tentang bersepatu tapi tak produktif atau sebaliknya, saya pikir itu bukan sesuatu yang pantas untuk diadu. Messi aja, yang produksi golnya tak terbantahkan, masih pakai sepatu ketika bertanding. Bisa saja dia menolak untuk memakai alas kaki, saya yaki Barcelona tetap akan membayarnya. Tapi aturan tetaplah aturan, dan saya percaya aturan ada dibuat untuk kebaikan, setidaknya begitu niatnya.

Ketiga,

Jangan pelit. Kami para junior lebih senang belajar dari pengalaman dari pada harus membaca  Standart Operating Procedure (SOP)buatan orang kahyangan itu. Alih-alih membaca SOP yang saklek, kaku dan nggak manusiawi itu, kami lebih suka belajar dari para senior yang sudah kaya pengalaman macam Anda. Dari mana kami belajar kalau Anda para senior tidak pernah mendokumentasikan dan mempublikasikan pekerjaan Anda? Tolonglah jangan pelit kepada kami, para newbie ini. Mengarsipkan dan menunjukkan pekerjaan bukanlah masalah passion atau “jiwa Anda yang tidak disana”. Itu hanya masalah kebiasaan dan sedikit effort, plus kebaikan hati untuk berbagi. Anda tidak harus membuat kitab suci, Anda hanya perlu sedikit rame, mempublikasikan info tentang lolosnya konsep surat Anda dari meja Pak Juragan kepada kawan-kawan seperjuangan Anda.  And we will do the same,  ketika kami diposisi kemenangan seperti Anda.

“Ya, yang butuhlah lah Mas, yang harus aktif nanya!”, Kata Mas dipojokan sana.

Bahkan orang sekelas profesor Rhenald Kasali pun menulis buku, mendokumentasikan ilmu dan membagikan pengalamannya, sehingga orang seperti saya yang tidak sempat memiliki jaket kuning UI pun bisa memperoleh manfaatnya. Lah, Anda profesor siapa kok pelit amat?

Nggak sempet, Mas. Kerjaan banyak banget ini. Gimana mau show my work?”, kata Mbak Ina bagian administrasi.

Nggak usah nulis buku mbak, cukup ditertibkan aja adminstrasinya, dicatet yang baik, syukur-syukur informatif dan indah. Ditata yang bagus folder-foldernya, dirapikan ordnernya, in case mbak sakit, kami masih bisa handle kerjaannya. In case Pak Manajer minta presentasi, mbak udah nggak berat bongkar-bongkar mencari datanya. Dari situ saja Pak Manajer pasti tahu, kalau Ina ini kerjaannya rapi dan bagus, dan nggak menyusahkan kawannya.

Kalau Anda masih meremehkan kekuataan dokumentasi dan publikasi, silakan googling tentang kisah yang saya catat sebagai penutup tulisan saya ini.

Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, rela mengulang pose berpelukan dengan Jenderal Besar Soedirman. Karena Beliau tahu seberapa besar kekuatan pose tersebut terhadap mental dan semangat juang rakyat Indonesia di kala itu.


Situbondo, 10 September 2015.

Comments

  1. Weeeee.....kereeeen.... Keep writting...

    ReplyDelete
    Replies
    1. wehehehe, baru tau kalo ada yg komen :D

      matur nuwun Mas e :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada