Skip to main content

BEROBAT KE LUAR NEGERI, BUKAN KARENA GENGSI

Beberapa minggu lalu, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan seorang pengusaha keturunan di daerah saya. Bapak ini meskipun rutin berolahraga, tetapi tetap saja dikaruniai diabetes dan penyakit jantung. Maka, salah satu topik hangat yang kami bicarakan adalah penyakit, pencegahan dan pengobatannya. Setelah panjang lebar Beliau berbicara tentang sumber penyakitnya, maka tibalah kami pada pembicaraan bagian pengobatan.

"Saya kemarin baru operasi pemasangan ring jantung ke Malaysia, Mas.", begitu kata bapak ini mengawali pembicaraan hal pengobatan.

Seperti sebagian dari Anda, saya pun bertanya-tanya tentang jauhnya beliau menjalani operasi. Dalam benak saya, tidak kurang dokter ahli jantung yang paten ada di Indonesia. Pun begitu pula dengan fasilitas, tak perlu ke Jakarta, di seputaran Surabaya saja sudah banyak rumah sakit yang mampu melakukan bedah jantung dengan sukses. Kenapa harus ke Malaysia?

"Bukannya apa-apa ya, tapi biaya pengobatan di sana itu jauh lebih murah daripada di sini.", kata beliau.

Kalimat ini langsung membuyarkan hipotesis saya diatas. Tapi tetap saja, benak saya ngeyel apa iya tetangga sebelah lebih murah dalam pengobatan dari Indonesia yang (katanya) kaya raya ini?

"Kita itung-itungan ya, Mas. Biaya untuk satu ring jantung, di sana cuman 30 juta. Saya pasang 3 ring plus operasinya, sedikit lebih dari seratusan juta. Pesawat pergi-pulang, cuman sejuta, pakai A*r Asia. Nebus resep obat, total sejutaan. Jadi total semuanya, saya cuman keluar duit nggak sampai 150 juta.", begitu kata Pak Pengusaha ini

Lantas, kalo versi Indonesia?

Pak Pengusaha melanjutkan, "Padahal ya, Mas. Kalo di Indonesia, satu ring dihargai 80 juta. Jadi kalo pasang tiga ring jantung plus biaya operasinya, bisa habis 350 jutaan. Dan itu obat, kalo di sana harga per-dus-nya 350 ribu, di sini harganya 600 ribuan. Jadi orang Indonesia berobat ke luar negeri itu bukan melulu karena gengsi, tapi di sana memang jauh lebih murah. Saya kalo kesana, seperti di rumah sakit lokal aja, lah yang antri 90 persen orang sini-sini juga."

Pernyataan Bapak ini begitu menohok ke-ingintahu-an sekaligus ke-soktahu-an saya tentang pengobatan luar negeri. Dan seketika, membuat saya terbengong-bengong miris bahwa ternyata selama ini, 250 juta penduduk Indonesia harus menanggung biaya kesehatan yang tak sedikit. Jadilah orang Indonesia yang tak pernah sakit, atau Anda akan bangkrut. Tapi apa ya bisa?

Belum habis keheranan saya, selisih beberapa hari menjumpai seorang kawan yang mendadak bujang lokal di rumahnya sendiri karena hampir semua anggota keluarganya sedang plesir ke negeri tetangga. Semua! Bukan karena kawan ini pengusaha kaya yang bikin saya terheran-heran, tapi lebih karena ongkos pesawat pergi-pulang ke luar negeri yang hanya 350 ribu. Pergi pulang ya, bukan sekali jalan. Harga yang jauh lebih murah dari tiket sekali jalan Surabaya - Jakarta.

Semahal itukah hidup di Indonesia?


Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

LALU KENAPA KALO NDAK NGIKUT TREN?

Dari ujung kepala sampai ujung kaki harus bermerek. Dari pomade sampe sepatu harus yang ada di iklan. Kalo kurang satu aja berasa incomplete. Been there done that, dan capek. Hampir semua yang pernah muda pasti pernah melaluinya. Kalo ndak, ada dua kemungkinan. Dari kecil langsung tua, atau ndak ngikuti arus jaman. Manapun pilihannya, saya ucapkan selamat. Karena -sekali lagi - ngikuti arus jaman itu lelah, melelahkan. Tivi "nyuruh" kita pake merek ini atau itu dengan "alasan" biar keren dan dianggap "eksis". Kenapa saya kasi petik dua? Karena mereka tak secara langsung nyuruhnya. Pakailah sampo nganu, biar kaya Beckham. Koran, majalah dan internet juga setali tiga uang. Apa coba hubungannya Messi berpose sama henpon cina berwarna goldie? Messi juga tak mungkin - logika saya ya - memakai henpon cina. Oh, saya lupa. Ada teori yang bilang manusia akan selalu mengaitkan dua hal yang dijejerkan. Foto Kanye Wes kalo dijejerkan dengan Kim Kardashian, pasti akan

ATEIS BINGUNG

Dalam sebuah ceramahnya, Almarhum K.H. Zainuddin M.Z. pernah menganalogikan seorang ateis itu sebagai orang yg kebingungan. Dikisahkannya, ada seorang lelaki yg membutuhkan sepotong celana untuk dipakainya sendiri. Dia lihat semua merek, dia coba semua merek, lalu dia bingung dengan semua merek. "Semua enak dipakai, semua bilang paling trendy." "Jadi, mau pilih yg mana?" "Saya telanjang saja, saya nggak pilih yg mana-mana, saya bingung." Beberapa orang ateis memilih untuk tak beragama karena kebingungan. Bingung karena katanya semua agama menawarkan kebaikan, kedamaian dan hal-hal baik lainnya. Maka oleh sebab itu dia memilih untuk tidak bercelana. Maksud saya tidak beragama. "Tuhan, percayakah Engkau bahwa aku seorang ateis?" (Joko Pinurbo, 23.44 - 28 Jan. 2012) #haduhakudifollow #jokopinurbo