"Pak, kursinya bolong, ACnya bocor!"
"Ya kalo ndak mau ya jangan naik bis ini, Mbak! Sana, cari yg lain!"
Jawaban di atas adalah jawaban kenek bis merespon keluhan dari pelanggannya. Posisi mereka tidak dalam posisi yg seimbang. Bis dan krunya, dengan segala ketiadaan armada lain, dalam posisi superior. Sementara Mbak pelanggan dalam posisi tak punya pilihan lain, selain bertahan sekuat tenaga menjaga posisi duduknya yg setengah berdiri dengan tetesan air conditioner yg bocor. Sesekali dia melirik jam tangan yg sudah menunjuk ke angka sepuluh, sesekali dia melempar pandangan ke luar, sambil berharap ada bis lain yg lebih bagus. Meskipun dia tahu itu mustahil.
Keluhan, dalam ilmu pemasaran yg pernah saya peroleh, adalah emas buat siapapun yg sedang mengais rejeki. Beruntunglah Anda yg membuka warung lalu mendapati konsumen Anda komplain, barangkali tentang rasa masakannya, kotornya meja atau pelayanan Anda. Karena, konsumen yg tidak komplain, jauh lebih berbahaya daripada konsumen yg komplain. Mereka (menurut survey) akan menggetoktularkan, me-word of mouth-kan keluhannya, minimal ke empat orang yg berbeda. Jadi kalo ini beneran terjadi, maka minimal Anda akan kehilangan potensi rejeki dari empat calin pelanggan.
Beberapa pemilim warung bahkan memberikan special treatment buat konsumen-konsumen mereka yg tak puas. Memberikan voucher gratis, mengirimkan bingkisan rasa terima kasih, atau bahkan menggratiskan makan seumur hidup. Demi perbaikan-perbaikan yg berawal dari keluhan, dan mencegah viralnya keluhan itu, sembari menyempurnakan diri.
Salah seorang teman fesbuk pernah protes kepada saya,
"Kami itu, bisa-bisanya protes terus! Apapun kamu tulis, apapun diurusi. Mbok diem sana, ngapain gitu."
Lalu yg terpikir di benak saya adalah, akan kah para pejabat publik itu tau kinerja mereka kurang memuaskan bila tak ada yg mengeluh? Apa iya akan diupayakan pelebaran jalan, kalo rakyatnya kena macet tiap hari tapi nerimo dan meneng wae (diam saja)? Apa iya Bu Walikota Surabaya favorit saya itu akan mbelani turun ke jalan kalo ndak ada yg mengeluh rumahnya kebanjiran?
Buat sebagian orang, mendengarkan keluhan itu berisik. Mengkritik kinerja pejabat itu haram, haters atau berpredikat bangsa pencela. Buat sebagian yg cerdas, mendapat kritik dan keluhan itu adalah rejeki. Semacam pemberitahuan untuk perbaikan diri yg datangnya dari Tuhan, lewat para pengkomplain.
Bus diatas, lambat laun pasti akan mati. Selain karena takdir, kematiannya akan dipercepat oleh ketidakmauannya mendengar keluhan dan memperbaiki diri. Di trayek yg pernah saya jabani selama beberapa tahun, para pelanggan setia jurusan antar kota bahkan sudah hapal siapa nama supir, kenek, kondektur, style menyetir, kondisi kursi, dingin tidaknya AC bahkan sampai musik yg diputer oleh kru bus.
"Jangan naik Bus Xena, kondekturnya suka curang, ga pernah kasi kembalian!"
atau,
"Kapok deh baik Bus Laksana Kamu! Berapa kali naik mesti mogok. Sudah gitu kursinya mepet-mepet!"
Terakhir saya mengutarakan keluhan saya, beberapa orang kaget. Mereka bilang,
"apa iya ini si Anu?"
Dan tadi pagi, saya mendengar kabar, bahwa apa yg saya komplainkan, tersampaikan kepada pembuat kebijakan. Sesuai dengan namanya, pembuat kebijakan menurunkan petuah bijaknya, yg singkat cerita, kebijakan beliau sangat bersahabat. Bukan cuman buat saya, tapi seisi perusahaan.
Mari komplain, dengan cerdas, dan sopan.
Bangil, 19 Agustus 2016
Comments
Post a Comment