Skip to main content

SINGA AIR, SUMBER SEMBRONO DAN PEMAKLUMAM YANG MENTRADISI

Sudah tak terhitung berapa kali armada darat itu mengalami kecelakaan. Entah sudah berapa banyak nyawa yg melayang bersama PO fenomenal ini. Tapi tetap saja bus-busnya menjadi idola para pelaju Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). Para pelanggannya sepertinya tak pernah surut. Mungkin libur sebentar ketika satu dua busnya celaka dan menewaskan para kru dan penumpangnya. Saya bilang libur sebentar, karena hari-hari berikutnya jumlah penumpangnya kembali seperti sedia kala. 


Kemarin kami membahas teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Entah bagaimana awalnya, kelas metodologi penelitian kami tetiba ngobrol tentang lima lapis kebutuhan dasar manusia berbentuk piramida ini. Kebutuhan yang berawal dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, berlanjut pada kebutuhan kasih sayang, lalu kebutuhan untuk dihargai dan pada puncak piramida diduduki oleh kebutuhan aktualisasi diri. Pembicaraan berfokus agak lama pada lapis kebutuhan kedua, kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan diakhir pembicaraan kami simpulkan sebagai kebutuhan yg tidak (terlalu) dibutuhkan di negara kita. 


Bagamana tidak, di lapangan kerap ditemui para pekerja yg menolak menggunakan seperangkat alat keamanan dengan alasan-alasan yg unik dan luar biasa. Seorang rekan yg bekerja sebagai supervisor sebuah proyek geleng-geleng kepala ketika menghadapi para pekerjanya yg berdalih tidak nyaman dan merasa terhambat kinerjanya jika mereka memakai helm, rompi, kaos tangan dan sepatu berstandar keamanan. Pun jika terjadi kecelakaan kerja, yg keluar dari mulut mereka adalah pemakluman-pemakluman yg enteng saja diucap.


"Kalau sudah waktunya celaka, pake helm pun pasti celaka juga, Pak!"


Perkataan ini memang tidak seratus persen salah, tapi tak seratus persen (bisa di) benar (kan). Sedetik lalu bahkan pernyataan ini terasa sangat relijius karena seolah-olah menekankan penyerahan diri pada semua keputusanNya. Tapi buat saya, perkataan ini adalah pernyataan yg menantang kehendak Tuhan.  Rasul-Nya saja mencontohkan untuk mengikat unta sebelum meninggalkannya diparkiran. Ini artinya berikhtiar sebelum bertawakkal adalah sebuah keharusan. Jadi mengusahakan keselamatan diri adalah wajib hukumnya sebelum bismillahi tawaakaltu.


Lalu apa benar para penumpang itu tak butuh selamat? Survei kecil-kecilan dilakukan kepada para penumpang perusahaan otobus Sumber Sembrono. Ditanyakan alasan mereka kenapa mereka tetap setia memakai bus itu padahal terkenal sering setor nyowo.


Top survey diduduki oleh jawaban  cepat sampainya mereka ke tempat tujuan.  Di Jawa Timur dan Tengah, bus ini memang terkenal paling cepat mengantarkan penumpangnya ke destinasi dimau. Berbagai macam cara mereka ambil agar waktu tempuh bisa ditekan seminimal mungkin. Tidak peduli harus mengambil jalur berlawanan, memanfaatkan bahu jalan atau menerobos semak belukar, asalkan bus sampai di tempat tujuan. Sampai ditempat tujuan dengan selamat? Saya kok tak begitu yakin.


Lalu di taruh mana alasan keselamatan? Dia "hanya" berada di tempat ketiga setelah kenyamanan. Ditarik kesimpulan, bahwa penumpang PO yang sekarang bernama Sumber Slumun ini tak terlalu peduli dengan keselamatan mereka, asal supir bisa mengantar mereka dengan cepat dan dalam keadaan nyaman alias tetap dingin dalam ruang ber-air conditioner.


Betapa orang-orang kita begitu tak menghargai keselamatan dirinya (apalagi orang lain) ini juga tercermin dalam banyak pernyataan yg kita temui dalam percakapan sehari-hari. Jika Anda mendengar template pernyataan ini ketika sedang membicarakan musibah, 


"Kalau sudah apes meskipun jalan pelan dan berhati-hati ya tetap saja mati.",


atau ini kalimat ini,


"Meski pake helm mahal kalo sudah ditakdirkan mati, ya mati. Kalau belum ditakdirkan mati naik motor pake kopyah aja ya pasti selamat!", 


berarti Anda masih di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau sedang berbincang dengan salah satu warga negaranya.


Yang saya heran, meski telah merenggut banyak nyawa PO ini tak jua dilarang beroperasi. Entah pembenaran apa yg dijadikan pegangan oleh pemegang kebijakan sehingga mereka masih boleh beredar dan mengantar jemput penumpang seperti biasa. Kru masih sama, warna kendaraan tak berbeda, kelakuan masih sama, hanya sedikit perubahan pada nama dan mereka masih bebas bertugas di terminal-terminal. 


Lalu bagaimana dengan Singa Air? Karena alasan suasana duka yg belum sirna, maka saya putuskan untuk tidak membahasnya. Tapi saya yakin Anda paham ke mana arah pembicaraan jika saya tetap membahasnya.


Lalu apa kesimpulan dari tulisan ini? Satu, perlu diterbitkan edisi revisi untuk buku-buku yg memuat teori hierarki lima kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow. Karena di sini, keselamatan bukanlah sebuah kebutuhan dan ketidakselamatan adalah sebuah kemakluman. Dua, pelanggan setia tak akan lari meskipun telah terjadi insiden yg menyangkut hilangnya nyawa. Karena penumpang di sini mudah memaafkan, gampang melupakan dan terbiasa memaklumi.


Demikian, harap maklum.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada