Skip to main content

SELEMBAR SURAT DARI SETAN




Salam, umat Muhammad!

Aku, Setan! Ndak usah heran kalo aku menyapamu. Sudah biasa kita berkolaborasi merayakan kenikmatan dunia. Ndak usah kamu menyangkal, toh kamu juga menikmati kerjasama kita.


Tenang saja,
aku hanya pergi sebulan ini saja. Masih ada sebelas bulan waktu buat kita bersama-sama membuang-buang umur. Hanya sebulan ini aku ditahan-Nya. Sampai akhir bulan puasa nanti aku masih di dalam belenggu-Nya. Kita segera ketemu secepatnya, begitu Syawal tiba. Ndak usah kangen seberat itu.

Aku cuman mau tanya,
lancarkah puasamu? Mudahkah ibadahmu? Ringankah sedekahmu? Entengkah setiap langkahmu ke Masjid? Terjag kah mulut busukmu dari misuh-memisuh dan rasan-rasan? Kalo jawabnya iya, aku mahfum, memang begitu seharusnya. Karena sebulan ini, aku ndak nggelayuti kakimu buat ke Masjid. Aku ndak ngunci resleting dompetmu waktu ingin berderma. Aku juga ndak memencong-mencongkan pikiranmu ketika mulutmu ingin berkelakar. Seperti aku bilang tadi, aku cuti sebulan ini. Aku liburan sebentar, dipenjara-Nya. ‘It’s OK’ kalo setan Inggris bilang, sudah perjanjian kami dengan-Nya waktu kamu belum lahir.

Tapi kalau jawabmu ‘tidak’,
maka jangan kamu fitnah aku bulan ini. Meskipun aku setan, tapi ketika dirimu memfitnahku maka dosa fitnahmu akan tetap dicatat sama Malaikat-Nya di pundak kirimu. Dia konsisten, aku tahu itu, sangat tahu. Aku sedang berlibur, tak membisikimu apa-apa, tak mengajakmu kemana-mana. Tolong jangan fitnah aku bulan ini. Meskipun aku sangat ingin menjadikanmu pemfitnah ulung, tapi khusus bulan ini jangan kau kerjakan itu dosa.

“Saya khilaf, saya tergoda bujuk rayu Setan!”
Itu perkataanmu saat kamu bermaksiat. Kau minum khamr, kau makan barang haram, makan suap, mulutmu berkata bohong, berucap menyakitkan saudaramu, kau pukul istrimu, kau serobot harta yang bukan milikmu, kamu bicara-burukkan teman sekerjamu, kamu bilang itu semua karena bisikanku. Aku ndak apa-apa, justru aku berterima kasih karena dirimu sudah dengan sukarela mendampingiku ke neraka-Nya. Teruskan, teruskanlah engkau sibuk dengan pekerjaan dan permainanmu dan lupa surga-Nya. Aku ndak apa-apa kamu jadikan sasaran kesalahan-kesalahan dan dosa-doamu. Dengan satu syarat, di luar Ramadhan.

Jangan kau fitnah aku di bulan ini!
Aku libur, tak membisikimu apapun. Ketika kamu tetap tak ngaji Quranmu, ketika kamu tetap kunjung ke Masjid, atau memilih tak puasa dengan banyak alasan, jangan-jangan dirimu memang sudah sepertiku, Setan. Ketika berat untukmu memotong gaji bonusmu untuk zakat sedekah, aku curiga dirimu bukan lagi manusia. Ketika kamu di bulan ini tetap hobi membentak orang tua dan masih suka mengacuhkan saudara-saudaramu, aku bisa pastikan kita adalah kembar identik.

Jadi,
jika bulan ini kau rasa lebih senang ngebir dari pada berdzikir, akui saja itu semua memang karena dirimu telah rusak. Jangan kau tuduh aku, jangan kau tambah dosa-dosamu dengan dosa fitnah, meskipun itu ke aku. Aku tahu malaikat-Nya tetap akan mencatat fitnahmu di bahu kirimu. Dia konsisten, aku tahu itu, sangat tahu.

Sampai ketemu bulan depan, sudah tak sabar aku ketemu denganmu lagi.

Tertanda,
Setan.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada