Skip to main content

POKOKE SEMBAYANG, POKOKE POSO

“Dari pada saya korupsi tapi ga sholat! Atau dia melacur tapi ga sholat! Pilih mana coba?”

Islam rusak, dirusak sendiri oleh umatnya. Umatnya yang mana? Umatnya yang berpedoman pada “Pokoke aku sembayang, pokoke aku poso”. Mau nyuri, mau melacur, mau korupsi, ga masalah, yang penting sholat, yang penting puasa. Mereka pikir dosa maksiat bisa dikompensasikan dari pahala sholat dan puasanya. Beberapa orang malah menyedekahkan hasil lacurannya, menginfakkan hasil korupsinya, memakainya untuk membiayai diri mereka dan orang-orang terdekatnya untuk berhaji dan umroh. Mereka berpendapat sedekah mereka bisa “memutihkan”  dosa curiannya. Mereka kira pikir haji dan umroh semacam pencucian uang hasil korupsinya.

Amar makruf dan nahi munkar bukanlah sebuah pilihan.  Amar makruf dan nahi munkar berjalan beriringan. “Dari pada korupsi tapi tidak sholat” adalah sebuah kesalahan logika yang dimunculkan untuk menghapus rasa bersalah yang disuarakan hati nurani mereka. “Dari pada melacur tapi tidak sholat” dikemukakan sebagai pembenaran dari ketidakmauan mereka untuk move on ke jalan yang lebih baik. Tentu, keduanya bukanlah hal yang pantas untuk dipilih. Bahkan bukan sebuah pilihan yang patut dianggap ada. Mengusahakan sholat lantas meninggalkan korupsi atau pelacuran adalah kalimat yang seharusnya patut diusahakan. Karena Allah telah memberikan janjinya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Lantas bagaimana dengan para koruptor yang rajin sholat itu? Barangkali perlu ditelisik lagi, apakah sholatnya sudah benar?  Barangkali sholat mereka hanya sekedar jungkat-jungkit tak bermakna, tak ada rasa ikhlas, tak ada perasaan takut bahkan tak terasa ada dzikir sama sekali. Barangkali sholat mereka hanya demi kelihatan shalih dan menggugurkan kewajiban saja, tanpa pernah terkoneksi dengan Yang Maha Benar. Seperti keadaan yang pernah dikatakan oleh Rasullullaah s.a.w.,

إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا
“Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159)

*) Disarikan dari Kajian Ramadhan Masjid Al-Islami Gedung Keuangan Negara I Surabaya.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada