Skip to main content

BIARLAH SETAN TETAP DISEBUT SETAN



“Masih percaya dengan dongeng surga dan neraka, Tong?”, begitu biasanya setan menulis status di facebooknya.

Dulu, tahun tujuh puluhan, mereka dipanggil pelacur. Entah apa pertimbangannya, istilah pelacur kemudian diperhalus menjadi Wanita Tuna Susila (WTS). Istilah ini sepertinya mensejajarkan mereka (yang berprofesi tak terpuji ini) dengan tuna-tuna yang lain, seperti Tuna Wisma, Tuna Grahita, Tuna Daksa dan Tuna Wicara. Penyebutan tuna cenderung mempersepsikan penyandangnya pada ketidaksengajaan dan ketidakberdayaan. Pelacur yang bernama wanita tuna susila secara tidak langsung diasosiasikan dengan wanita-wanita yang tidak sengaja bekerja menjajakan seks. Dan mereka diposisikan tidak berdaya untuk keluar dari lubang kesesatan itu.

Tahun berganti, istilah WTS diperhalus lagi menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK). Kosakata ini mengajak pembacanya untuk memahami bahwa pelacur adalah sebuah profesi, sama dan setara dengan profesi lainnya. Tak perlu dipermasalahkan, tak perlu diperdebatkan, mereka hanya butuh cari makan. Mereka adalah profesional dibidangnya, menjajakan seks. Itu mau mereka, sang pemilih kata. 

Tapi buat saya pelacur tetaplah pelacur, tak perlu diperhalus. Biarkan tai ayam tetap dalam bentuk, warna, bau dan konotasinya. Biarkan dia dalam bentuk yang jelek, bau yang tidak enak dan warna yang tidak menyenangkan. Tak perlu kita mengemasnya dan memperhalusnya sedemikian rupa, apalagi sampai menyemprotkannya parfum di atasnya. Kecuali Anda ingin banyak orang terjerembab menginjak atau malah mengkonsumsinya karena tertipu dengan kemasan yang sudah harum dan menarik, meskipun isinya tai ayam.

Biarlah setan tetap disebut setan, supaya tak banyak yang tertipu dan ikut terseret dengannya ke neraka. Tak perlu mengasihani setan dan berharap dia mendapat hidayah, dia sudah dilaknat Allah dan sudah divonis akan kekal di nerakaNya. Tak perlu pula mengganti namanya menjadi makhluk Tuhan yang tersesat, dengan alasan dia juga mahkluk Tuhan yang harus mendapat perlakuan yang sama. 

Semakin ke sini, semakin banyak cara setan memperhalus dan mengemas keburukan dan kejahatan agar diterima seolah-olah barang yang baik. Bahkan orang yang mengimani keberadaan neraka pun, oleh setan, dianggap orang yang tidak moderen dan ketinggalan jaman.


Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada