Skip to main content

THE POWER OF WORDS AND HUMANITY

Foto diambil dari www.telegraph.co.uk

THE POWER OF WORDS AND HUMANITY

(The Bridges of Spies)


Sepertiga film pertama, saya pikir film ini terlalu cepat untuk ukuran sebuah film tentang pembelaan seorang pengacara buat kliennya. Tak ada detil pembelaan atau drama perang mulut antara Jaksa-Hakim-Pengacara, kecuali sedikit bagian tentang Donovan yang mempertanyakan penangkapan yang tak prosedural. Kliennya bukan orang biasa, Kolonel Rudol Abel, seorang tertuduh mata-mata Sovyet, yang menjadi musuh seluruh Amerika. Demi mendapatkan citra bahwa seorang mata-mata pun mendapat pengacara yang handal, maka Amerika menyewa Donovan untuk membela Abel. Donovan, meskipun dari firma hukum terkenal, tapi dia hanyalah  seorang pengacara asuransi yang tak pernah membela kasus spionase internasional.

Singkat cerita, Donovan menerima penugasannya, dan melakukan pekerjaannya sebagai pengacara secara sungguh-sungguh dan profesional, meskipun ada kemungkinan (dan besar) akan dimusuhi oleh seluruh orang Amerika, sebagai konsekuensi membela musuh negara.  Dan benar saja, ketika putusan dibacakan, seluruh Amerika memusuhinya. Reputasi firma hukumnya menjadi buruk, dan rumahnya tinggalnya disatroni penembak misterius. Karena hakim memutuskan penjara selama 30 tahun untuk sang Kolonel, bukan hukuman mati. Tentu ini adalah hasil  yang luar biasa bagi seorang pengacara, tapi tidak buat rakyat Amerika yang sudah kadung benci setengah mati dengan musuh bebuyutuan mereka. Doktrinasi Sovyet musuh yang kuat, dimulai dari sekolah-sekolah, sampai-sampai anak Donovan sendiri menyiapkan kemungkinan penyelamatan diri dan keluarganya dari kemungkinan bom atom yang diluncurkan oleh Sovyet, di kamar mandi keluarga.

Ada satu pelajaran menarik buat saya, tentang menjadi pengacara dan menjadi profesional. Tentang membela hak-hak terdakwa, yang sepertinya orang sini masih menganggapnya minor. Seperti yang seorang tua pernah berkata kepada saya ketika geram melihat pengacara salah satu terdakwa kasus korupsi,

"Habisi sekalian itu pengacaranya, orang korupsi kok dibela!"

Saya kira kalimat diatas sudah cukup menggambarkan bagaimana peran pengacara di mata orang Indonesia. Peran yang aslinya adalah penyeimbang untuk menemukan titik adil dalam memberikan konsekuensi adil dari sebuah perbuatan yang dianggap salah. Bahkan orang Amerika pun tak bisa melepaskan diri antara keadilan dan perasaan. Tak berbeda dengan orang kebanyakan, Hakim yang menyidangkan kasus ini pun berpikiran sama, bahwa tak ada hak yang bisa dibela untuk seorang Abel. Sampai suatu di suatu pertemuan Donovan berhasil meyakinkan untuk tidak memberi putusan membunuh Abel, karena in case mata-mata Amerika tertangkap, mereka bisa melakukan trade in, exchange

Sebuah adegan lain menunjukkan CIA sedang menyiapkan skuadron mata-mata. Mewawancarai beberapa perwira tentara untuk kemudian ditugaskan memotret dari ketinggian 70.000 kaki di atas permukaan wilayah Sovyet. Salah satunya adalah Letnan Francis Powers, seorang pilot yang akan menerbangkan pesawat satu awak sembari memotret. Singkat cerita, berangkatlah pesawat pertama. Pesawat yang seharusnya tak terbaca radar ini entah kenapa tiba-tiba menjadi target empuk dari peluru-peluru Sovyet. Maka jatuhlah pesawat ini tanpa sempat sang pilot menekan tombol self destruction, yang artinya juga bakal membunuh dirinya juga. Seperti dugaan Anda, Letnan Powers pun ditangkap oleh Sovyet.

Untuk mendapatkan informasi, Powers hanya disiksa dengan gangguan tidur, air dan lampu super silau plus sel yang becek. Sedangkan Abel malah tak mengalami siksaan apapun dan tidur nyaman di sel yang bersih. Sebuah penggambaran perlakuan yang menurut saya kurang berimbang, dan terlalu sopan. Tapi terlepas dari itu, film ini berhasil menunjukkan apa dan bagaimana persangkaan dan perlakuan dari citizen  terhadap mata-mata ketika mereka sudah tertangkap, baik oleh negara pengirimnya maupun oleh negara yang dimata-matai.

Film ini berhasil membuat saya deg-degan dihampir semua adegannya, membuat saya trenyuh, kaget, sedih dan tertawa di beberapa adegan lainnya.  Masih banyak kejutan-kejutan lain dari film berseting perang dingin ini. Plus scene-scene yang menawan dengan angle-angle dan lighting yang bagus, saya kira film ini patut untuk direkomendasikan. Soal akting, jangan tanya bagaimana akting aktor sekaliber Tom Hanks.

Sebagai bonus, saya kutipkan dialog antara Donovan dengan Kolonel Abel, yang sempat diulang beberapa kali, tentang ketenangan Abel dalam menghadapi masalah. Yang mengajarkan saya tentang perlunya less worry, atau bahkan tak usah kuatir sama sekali.

Pertanyaan itu Donovan,

"You are not worry?"

Dan selalu dijawab oleh Abel,

"Would it help?"







Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada