Skip to main content

YANG PUASA YANG MENAIKKAN HARGA

Kabarnya, kita yang puasa ini yang menjadikan harga daging sapi melambung tinggi. Kabarnya kita-kita yang sedang mengendalikan hawa nafsu ini yang menyebabkan daging ayam ganti harga. Katanya, kita, umat yang sedang belajar untuk merasa lapar dan berempati kepada kaum miskin ini yang membuat minyak goreng jadi tak murah lagi. Katanya, kita yang dengan puasanya ini sedang belajar memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong kepada sesama, yang malah menjadikan banyak orang malah tak mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kabarnya, kita, umat yang sedang belajar mengendalikan anggota tubuhnya ini, malah membuat semua harga kebutuhan pokok jadi naik tidak karuan.

Kita yang harusnya mampu menahan diri dari berbagai keinginan dunia, justru pas bulan puasa ini seakan gelap mata dan gelap perut. Berbagai macam makanan kita tumpuk menjelang saat berbuka. Es cendol, es manado, kolak, sup merah, muffin, waffle, pisang goreng, kacang rebus, jagung bakar, puding, ayam goreng, soto daging, salad, dim sum, sayur asam, sayur bayam, sandwich, burger, semua ada, semua hadir, komplit. Kalau di hari biasa kita cukup menyediakan sajian utama alias makan besarnya saja, maka di hari-hari yang spesial ini, mulai dari appetizer, main course, dessert bahkan sampai penutupnya dessert sudah tersedia di meja makan. Jadi, kemana semangat pengendalian nafsu makan yang seharusnya menjadi salah satu hakikat puasa?


Kita yang harusnya belajar merasakan lapar, bukan malah kekenyangan berlebihan setelah berbuka puasa. Kita yang seharusnya merasakan ketidakberuntungan kaum fakir dan banyak berbagi kepada kepada mereka, malah menghambur-hamburkan uang untuk makanan yang belum tentu kuat dan muat di perut kita. Jika alasan kita berpesta saat berbuka adalah untuk merayakan perjuangan setelah seharian menahan lapar dan dahaga, mungkin kita patut mempertanyakan kehebatan kita dibanding anak-anak jalanan, pengemis dan gelandangan yang sering kita sepelekan. JIka kita berdalih bahwa semua itu harus tersedia untuk memberikan semangat puasa esok hari, mungkin kita patut memikirkan kembali kemungkinan berpuasa hanya sampai dhuhur atau ashar, seperti kebanyakan anak kita yang sedang belajar puasa. Yang semangatnya perlu dipompa dengan es campur, es krim atau ayam goreng kremes.


Tak heran bila setiap Bulan Ramadan datang, terjadi sebuah anomali yang menasional. Anomali yang terjadi karena jumlah pengkali kita makan yang turun - dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari - tetapi kebutuhan uang belanja yang justru meningkat tajam berlipat-lipat. 
Begitu pula ketika Ramadan akan usai. Semangat berbelanja baju, sepatu, mobil dan (cat) rumah baru, mengalihkan semangat kita berpuasa. Entah dari mana tradisi ini berawal, berlanjut dan sampai kapan. Silaturahim memang wajib hukumnya, menyambung tali persaudaraan memang perlu dikejar keutamaannya, dan tradisi berkumpul pada hari raya Idul Fitri adalah tradisi yang sangat bagus untuk dilestarikan. Tetapi semangat pamer baju dan segala harta baru sepertinya sudah lebih kuat daripada semangat silaturahim. Pesta-pesta berbalut halal bi halal pun seakan wajib mewah dan menjadi pertunjukan pamer sang penyelenggara.

Belum lagi, bahaya ghibah yang mendampingi acara kunjung mengunjungi saudara dan tetangga.


"Eh Jeng, rumah Teh Ani kemarin bagus banget, ya! Catnya itu loh, keliatan banget kalau cat mahal."


atau malah sebaliknya,


"Padahal kerjanya di perusahaan besar, tapi kok rumahnya nggak terawat gitu, ya? Pakaian anak-anaknya juga biasa banget. Kayanya baju tahun kemarin deh itu!"


Padahal, tentang berbuka dan menyambut lebaran, Rasulullaah s.a.w., malah memberikan ajaran dan contoh tentang kesederhanaan dan kesahajaan. Beliau hanya mensunnahkan kita berbuka dengan kurma dan air putih. Tidak ada anjuran untuk menghormati perut yang lapar dan dahaga dengan makanan yang super dan istimewa. Pun begitu ketika panggilan sholat Ied datang, tak pernah kita jumpai hadis tentang menunaikan sholat dengan baju yang baru. Beliau hanya menganjurkan kepada umatnya untuk mengenakan baju terbaik, lebih utama lagi baju berwarna putih dan wangi. Bahkan dibanyak hadis, beliau tidak menganjurkan kita untuk bermewah-mewah dalam pakaian, dengan segala payet, motif, benang emas, bordir dan kain yang berjuntai-juntai yang bisa dipakai untuk lima sampai enam baju lagi, yang ala-ala artis yang mendadak alim.


Salah satu hakikat dari puasa adalah mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan anggota tubuh, melatih diri akan lapar dan dahaga, merasakan kesusahan kaum miskin, memperkuat kasih sayang dan tolong menolong kepada sesama. Maka bila kita mengaku sebagai umat yang berpuasa, marilah kita kembali ke hakikat puasa yang sesungguhnya. Puasa yang sederhana, puasa yang penuh ketenangan, jauh dari hiruk pikuk keinginan ini dan itu, dan tentu saja puasa yang penuh empati. Kecuali jika Anda hanya ingin merasakan lapar dan haus saja, atau malah merasa kuatir tak kuat menahan perut yang keroncongan sampai bedug maghrib dibunyikan.

Comments

  1. apik tenan....mengajari kita untuk.kembali ikhlas "ngaji"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun Pak De Ardani, Alhamdulillaah. Selalu terinspirasi sama tulisan-tulisan Njenengan.

      Delete
  2. Luar biasa mas, perenungan yg dalam ini..

    ReplyDelete
  3. entah kenapa saya agak terganggu oleh beberapa kosa kata yang tidak baku...seperti: kita-kita, ramadhan, dll...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada