Skip to main content

BAJU BEKAS BERISIK

Pagi itu Bagas berniat membawa seplastik besar baju-baju yg sudah dikumpulkannya sore hari sebelumnya. Baju-baju yg layak pakai, tapi sudah jarang dipakai sama Bagas, rencananya akan diberikan ke panti asuhan kampung sebelah. Siapa tahu baju ini lebih berguna daripada teronggok diam di lemarinya.

Tiba-tiba ada suara berisik dari dalam plastik,

"Gas, Bagas! Jangan kasi gue ke orang, dong! Gue kan masih bagus!"

Dengan bingung Bagas mencari sumber suara.

"Iya, ini gue, baju elu!"

Kaget Bagas, bajunya bisa bersuara. Masih belum tuntas keheranan Bagas, kembali baju itu bicara,

"Apa ga sayang sama gue, mahal loh elu belinya dulu. Sampe pake nabung segala bukan?"

Bagas yang sudah mau beranjak pergi, mendadak duduk kembali. Sambil menimbang-nimbang perkataan kemeja dari dalam plastik kresek merah ukuran besarnya.

Ah, nggak ah, baju ini lebih berguna buat saudara-saudara di kampung sebelah. Gue 'kan sudah punya yang baru. Kata Bagas dalam hati. Bagas pun berdiri lagi.

"Gas, gue sama temen-temen 'kan belum lama sama elu. Belum juga setahun, masa mau dikasi orang?"

Bagas bimbang lagi.

"Ini apalagi, si Levi's butut ini. Bukannya jeans makin butut makin keren kata majalah?"

"Dia uda ga muat sama perut gue!", tiba-tiba Bagas jawab.

"Ya tinggal elu diet, apa susahnya. Daripada kasi barang mahal ke orang!"

"Udah, diem lu. Gue bakal kasi elu semua ke orang yg lebih butuh elu semua!"

"Tapi, Gas! Nanti mereka ga bisa merawat kami! Mereka ga punya mesin cuci front loading. Kalo dicuci tangan, rusak lah kami semua!"

"Berisik! Gue berangkat!"

"Tolong lah Gas, kami mau tinggal di lemari elu barang sebulan dua bulan lagi. Ini si Lacoste malah nangis. Dia bilang dia spesial loh, hadiah ulang tahunmu yg ke 17. Apa iya mau dikasi orang kenangannya?"

Bagas kembali galau. Lacoste ini memang spesial, hadiah dari cewe pertama Bagas ketika SMA. Lima tahun yang lalu sih, tapi siapa yg bisa lupa sama cinta pertama. Mulai berpikir dia buat ngeluarin Lacoste dari plastik kresek.

"Aku juga, Gas! Kamu kan ga mau mengecewakan Pamanmu. Aku gamis dari Arab sewaktu beliau umroh sebelum meninggal."

Di ambilnya gamis krem polos itu dari kumpulan baju yg mau disumbangkan, sambil terkenang mendiang pamannya yg sudah seperti ayah sendiri.

"Gue gimana, Gas? Jelek-jelek gini masih enak loh buat baju tidur. Dijamin nyaman deh tidur lu."

"Ah, sudah-sudah! Masuk semua kalian. Mereka lebih membutuhkan kalian. Jangan halangi gue buat bersedekah!

Lalu dimasukkan semua baju yg sempat keluar, ditalinya kuat-kuat lidah plastik kresek besar itu. Lalu dibungkus lagi pake plastik besar lainnya.

"Gas, Bagas! Ayo lah!"

Bagas tak lagi menghiraukannya. Dijepitnya plastik besar itu diantara

antara jok maticnya, lalu bergegas dia menyalakan motor dan pergi ke panti asuhan kampung sebelah.

Situbondo, 20 Juni 2016.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada