Skip to main content

LALU KENAPA KALO NDAK NGIKUT TREN?

Dari ujung kepala sampai ujung kaki harus bermerek. Dari pomade sampe sepatu harus yang ada di iklan. Kalo kurang satu aja berasa incomplete.

Been there done that, dan capek. Hampir semua yang pernah muda pasti pernah melaluinya. Kalo ndak, ada dua kemungkinan. Dari kecil langsung tua, atau ndak ngikuti arus jaman. Manapun pilihannya, saya ucapkan selamat. Karena -sekali lagi - ngikuti arus jaman itu lelah, melelahkan.

Tivi "nyuruh" kita pake merek ini atau itu dengan "alasan" biar keren dan dianggap "eksis". Kenapa saya kasi petik dua? Karena mereka tak secara langsung nyuruhnya. Pakailah sampo nganu, biar kaya Beckham. Koran, majalah dan internet juga setali tiga uang. Apa coba hubungannya Messi berpose sama henpon cina berwarna goldie? Messi juga tak mungkin - logika saya ya - memakai henpon cina.

Oh, saya lupa. Ada teori yang bilang manusia akan selalu mengaitkan dua hal yang dijejerkan. Foto Kanye Wes kalo dijejerkan dengan Kim Kardashian, pasti akan diasosiasikan dengan sepasang suami istri yang heboh. Atau Ariel Noah dengan Sophia, pasti akan difantasikan macam-macam. Begitu juga henpon, sampo dan Messi yang pensiunan timnas Argentina itu. Jadi pinter-pinter mereka lah nggathuk-nggathukkan.

Dulu, merek, dalam bayangan saya adalah jaminan. Jaminan mutu sekaligus gaya. Padahal ndak juga. Mutu, untung-untungan. Sebagian besar memang melewati quality control yang ketat. Tapi siapa menjamin 100% barang dipasar semuanya sempurna? Sepatu contohnya. Memang nyaman, tapi beberapa kali menyesal karena -mungkin - saya dapat bad copynya. Rusak sebelum waktu yang diperkirakan. Dan lucunya, saya beli lagi, dan rusak lagi, di situ-situ juga.

Soal gaya, ndak semua yang merek dan mahal itu ga mencocok mata orang. Asal Nike tak menjamin sampean enak diliat orang. Asal Rayben tak menjamin saya jadi langsung nggantheng. Bahwa anatomi tubuh lah yang memegang peranan penting di sini. Wajah oval, cocoknya pake kacamata yg bulat sekalian atau kotak sekalian. Jangan paduan dari keduanya. Meskipun Rayban, tapi ndak cocok sama bentuk muka, ya jelek. Perut buncit, pake kemeja slim fit, ya ndak sedap dipandang meskipun mereknya Zara.

Saya pun, sampai pada suatu saat, karena tuntutan hidup (dan gaya hidup juga) akhirnya sadar dan menyadari bahwa mengikuti kehendak pemasaran adalah melelahkan. Ya masak soal apa yang kita pakai saja harus mereka dikte? Katanya menjunjung tinggi kemerdekaan, lah kok masih mau dikontrol oleh mode dan merek. Ndak merasa hebat kalo ndak pake sepatu yg peletnya ijo di kiri dan merah di kanan. Itu kan sugesti yang berhasil mereka lekatkan di kita, biar beli dan beli terus.

Semenjak itu lah, patokan saya berbaju, bersolek dan bersepatu murni hanya karena alasan cocok, nyaman, tak mengganggu penglihatan orang lain (baju merah celana ijo, sekalian aja pake gasper orange biar kaya lampu bangjo) dan murah alias terjangkau. Persetan apa kata majalah fashion, atau halaman lifestyle lah. Toh mereka ndak ngragati kita, dan ngikuti mereka tak menghasilkan uang, kecuali sampean serius jadi fashion blogger. Dan tentu butuh usaha dan tenaga lebih kalo itu, utamanya menghadapi para kritikus mode yang judes-judes itu.

Tapi ya itu, kadang saya masih kangen sama Adidas Beckenbauer yg lejen itu.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

SAYA SAKIT APA, DOK?

“Saya suka berobat ke dokter yang saleh itu. Di pintu kamar praktiknya terpampang tulisan ‘Sakit Itu Menyehatkan Iman’” (Joko Pinurbo, 19.41 – 20 Agustus 2012) Gedung Keuangan Negara I Surabaya punya klinik. Dokter yang praktik usianya sudah sepuh. Rambutnya sudah tinggal beberapa helai, keriputnya di mana-mana, tangannya pun kadang bergetar ketika menulis resep. Tak perlu saya tuliskan gelarnya yang panjang, karena saya pun tak hafal. Kalau lah saya hafal, saya juga tak tahu arti dan manfaatnya buat saya. Dari penampakannya cukup lah bagi saya untuk menyimpulkan betapa banyak jam terbangnya, dan betapa mumpuni ilmu dan pengalamannya.  Dokter ini tak pernah mendiagnosis yang ngeri-ngeri. Pun ketika saya ke sana dengan berbagai keluhan yang dramatis. Macam demam hanya di sore hari, lalu nafsu makan rendah, kulit nyeri dan sebagainya dan seterusnya. Kesimpulannya tak jauh-jauh dari kelelahan, stres atau kurang istirahat. Obat yang diberikan biasanya tak jauh dari ka

MINTA MAAF ITU GENGSI

Kepada klien, konsumen, nasabah, atau teman, seringkali kita lebih mudah mengatakan maaf dan terima kasih. Lebih mudah daripada mengatakan kedua kata itu kepada suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak atau anggota keluarga lainnya. Seakan ada gengsi yang menggantung menggelayut di pangkal bibir yang membuatnya berat untuk diucap. Namun sejujurnya hati lah yg merasa harga diri seakan jatuh jika kita minta maaf. Bahkan, seandainya saja pengadilan memutuskan kita bersalah, kata maaf itu rasanya masih susah buat dirilis. Ada penghambat bernama perasaan "aku kalah" jika sampai kata maaf itu terucap. Yang saya bilang di atas tadi masih level medium. Saya pernah bertemu dengan orang yg berprinsip tidak akan meminta maaf karena kata maaf itu sama saja berkata kalau pengucapnya adalah lemah. Sedangkan dia merasa tidak lemah, tak pernah salah, dia sempurna. Makanya, buat dia meminta maaf adalah aib. Betapa congkaknya orang ini, saya pikir. Padahal Nabi saja berkata manusia ada