Skip to main content

KOLEKTOR MAKANAN

Sekali dua kali kita pasti pernah, sangat bernafsu mengumpulkan bermacam makanan untuk berbuka. Berbagai jenis makanan yang ketika jam kita puasa sepertinya saling tunjuk tangan minta dimasukkan ke mulut kita. Mulai es campur, kolak pisang, pisang goreng, kue kering, nasi rawon, sampai kerupuk udang. Semuanya berasa enak dan menyegarkan. Dan berkumpullah mereka semua dalam koleksi makanan berbuka siap saji kita.

Beberapa saat kemudian, waktu berbuka pun telah datang. Kita incip dulu es campur, seteguk, dua teguk, sesendok, dua sendok, sampe habis. Berlanjut ke pisang goreng keju bertabur coklat. Ketika habis pisang goreng itu, tetiba kita merasa ndak kuat lagi melanjutkan ke menu nasi goreng. Antara perut yg serasa penuh sama keinginan makan yg sudah reda.

Mungkin ada perkecualian, beberapa orang yg dikaruniai kapasitas perut dan nafsu makan yg besar. Tetapi kebanyakan orang merasakan hal yg sama, merasa cukup ketika beberapa suap makanan sidah masuk ke perut. Sudah melewati titik kepuasan maksimal berbukalah istilahnya.

Bagi saya, ini semacam pelajaran hidup. Bahwa sebanyak apapun harta yg kita kumpulkan, sebesar apapun keinginan kita menumpuk kenikmatan, toh akhirnya kita ndak membutuhkan lebih dari sepotong baju-celana, sepasang alas kaki, dan sepiring nasi untuk dimakan. Ya mungkin aja, saking banyaknya koleksi kemeja kita, sekali waktu make kemeja tumpuk lima. Atau makan sekali makan lima piring. Tapi ya mosok wajar, wagu kata temen Klaten saya.

Saya jadi teringat sebuah pepatah yg mengatakan, "Terkadang hewan lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri. Mereka hanya mengambil apa yg mereka butuhkan untuk makan. Terkadang menyimpannya sedikit untuk persiapan musim dingin. Sementara manusia, dengan serakahnya mengumpulkan sebanyak mungkin, tanpa mengenal musim."

Pandaan, 3 Juli 2015.

Comments

Popular posts from this blog

ASALNYA MANA?

"Mas, aslinya mana?" "Saya lahir di Padang, tapi habis itu dari balita sampai TK saya tinggal di Jakarta. Lalu SD sampai SMP pindah ke Wonosobo. Kuliah di Jakarta, dan sekarang ada di Jember. Bapak Ibu saya orang Jogja. Jadi, saya asli mana?" *** "Mbak asalnya dari mana?" "Jakarta." "Aslinya?" "Purwokerto." *** "Saya lahir di Jombang. Sampai SMA masih di sana. Tapi begitu kuliah sampai sekarang, saya tinggal di sini, di Surabaya." "Total berapa tahun di Surabaya?" "Dua puluh tujuh tahun. Dan saya masih dianggap pendatang sama orang sini." *** "Aslinya mana Mas?" "Blitar." "Blitar mana?" "Wlingi." "Oh, Blitar coret, toh." *** Pertanyaan itu selalu ambigu buat saya, entah ketika berada di posisi penanya atau yang ditanyai. Tapi pertanyaan itu sepertinya sudah menjadi basa-basi yang wajib ditanyakan, utamanya ketika awal berkenalan, dipertengahan ngob

LALU KENAPA KALO NDAK NGIKUT TREN?

Dari ujung kepala sampai ujung kaki harus bermerek. Dari pomade sampe sepatu harus yang ada di iklan. Kalo kurang satu aja berasa incomplete. Been there done that, dan capek. Hampir semua yang pernah muda pasti pernah melaluinya. Kalo ndak, ada dua kemungkinan. Dari kecil langsung tua, atau ndak ngikuti arus jaman. Manapun pilihannya, saya ucapkan selamat. Karena -sekali lagi - ngikuti arus jaman itu lelah, melelahkan. Tivi "nyuruh" kita pake merek ini atau itu dengan "alasan" biar keren dan dianggap "eksis". Kenapa saya kasi petik dua? Karena mereka tak secara langsung nyuruhnya. Pakailah sampo nganu, biar kaya Beckham. Koran, majalah dan internet juga setali tiga uang. Apa coba hubungannya Messi berpose sama henpon cina berwarna goldie? Messi juga tak mungkin - logika saya ya - memakai henpon cina. Oh, saya lupa. Ada teori yang bilang manusia akan selalu mengaitkan dua hal yang dijejerkan. Foto Kanye Wes kalo dijejerkan dengan Kim Kardashian, pasti akan

ATEIS BINGUNG

Dalam sebuah ceramahnya, Almarhum K.H. Zainuddin M.Z. pernah menganalogikan seorang ateis itu sebagai orang yg kebingungan. Dikisahkannya, ada seorang lelaki yg membutuhkan sepotong celana untuk dipakainya sendiri. Dia lihat semua merek, dia coba semua merek, lalu dia bingung dengan semua merek. "Semua enak dipakai, semua bilang paling trendy." "Jadi, mau pilih yg mana?" "Saya telanjang saja, saya nggak pilih yg mana-mana, saya bingung." Beberapa orang ateis memilih untuk tak beragama karena kebingungan. Bingung karena katanya semua agama menawarkan kebaikan, kedamaian dan hal-hal baik lainnya. Maka oleh sebab itu dia memilih untuk tidak bercelana. Maksud saya tidak beragama. "Tuhan, percayakah Engkau bahwa aku seorang ateis?" (Joko Pinurbo, 23.44 - 28 Jan. 2012) #haduhakudifollow #jokopinurbo