Warung
kopi, buat sebagian masyarakat kelas pekerja, adalah semacam markas kecil dengan garis start, sebelum menggelindingkan diri mengais rejeki setiap hari. Di sini, mereka mengobrol tentang apa saja. Mulai dari bagaimana menghadapi bos, juragan, majikan (atau apalah namanya) sampai kiat-kiat menundukkan pelanggan. Di sini, para pekerja bisa saling curhat, saling menguatkan atau sekedar menghibur rekan yang kebetulan terkena apes.
“Mbak,
kopi ireng siji!”
Kalimat pendek di atas seringkali menjadi awal segala pembicaraan, entah penting atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul membahas transfer pemain bola di negeri antah berantah sana. Memang tak semua pengunjung warung ini memesan kopi. Ada yang memesan teh, jeruk anget atau jahe panas. Tapi kopi tetaplah minuman pendamping ngobrol terfavorit di warung ini.
Kopi
di sini lain dari kopi yang biasanya. Kopi di sini, dimasak langsung dengan air dalam teko yang selalu mancep di atas kompor, menemani air putih sampai mendidih. Menurut pengamat kopi moderen, mungkin ini cara seduh yang kurang pas, karena nanti rasa kopinya jadi kelewat pahit karena terlalu gosong. Tapi, buat penikmat-penikmat kopi tradisional,
justru dengan cara inilah kenikmatan kopi dapat diperoleh secara maksimal. Kalau ndak matang,
bisa-bisa kembung perut peminumnya, begitu
kira-kira prinsip peminum kopi tradisional.
Banyak alasan para pecandu ngobrol lebih memilih kopi buat mbarengi obrolan mereka daripada pilihan menu minuman yang lain. Kopi, karena kafeinnya, membuat melek, dan melek adalah modal utama obrolan di malam hari atau pagi hari setelah tidur kelewat larut. Kopi, dengan teksturnya yang
kental, rasanya lebih tahan lama di mulut dan kerongkongan. Lain dengan teh yang kenthengen
(terlalu ringan), coklat yang terlalu mriyayeni, atau malah wedang jahe yang kadang malah membuat ingin cepet-cepet dihabiskan karena
aroma panasnya. Kopi,
tahan lama. Selain tahan lama di kerongkongan, dia juga tahan lama di
gelas. Bila teh dingin tak lagi nyaman diminum, kopi dingin (apalagi
kopi tubruk) justru menawarkan rasa yang lebih kuat,akibat ekstraksi terus menerus dari
endapan kopi di dasar gelas.
Kopi,
dengan kafeinnya, mampu menggerakkan pompa jantung untuk mengirim suplai darah keseluruh penjuru tubuh lebih cepat. Lancarnya suplai ini, membuat otak lebih cespleng dalam memilih kosakata dan tema bahasan sebagai materi obrolan. Di sisi
lain, kiriman kafein ke otak juga membantu mendinginkan hati, yang menjadikan peminum kopi bisa menerima semua obrolan dengan sumbu emosi lebih panjang, pikiran yang lebih meluas dan ruang dada yang lebih lebar. Pendek kata, kopi mampu
membantu kelancaran komunikasi, membuka hal-hal yang
tersumbat dan mencairkan apa saja yang membeku. Meskipun disajikan panas, kopi justru mampu mendinginkan segala macam urusan yang memanas.
Pagi ini, warung kopi yang persis berada di pinggir jalan utama Kota Malang ini terlihat sudah ramai. Beberapa meja telah penuh dengan pengunjung. Dari sekilas pembicaraan, bisa ditebak dari mana dan profesi apa para pengunjung warung ini. Mulai
dari tenaga pemasar, debt collector,
pegawai pemerintahan sampai pedagang keliling. Beberapa meja sudah mengawali lelaku ngopinya lebih awal, terlihat dari suguhan percakapan yang penuh tawa, bahkan ngakak. Sementara meja yang lain, belum memulai pembicaraan sama sekali. Kelihatannya masih pada sibuk sama alat komunikasi masing-masing, tapi sebenarnya mereka sedang menunggu kopinya terhidang. Ada semacam kekuatan lebih untuk nyerocos setelah menyeruput kopi meskipun hanya sesesap. Beberapa pengunjung malah baru kelihatan memasuki
halaman. Sembari menenteng tas kerja dan melepas jaket jalanan, mereka berteriak,
“Pak
Samsul, kopi irenge loro!”
Comments
Post a Comment