Warung kopi Pak Sabar selalu rame. Pak Sabar-nya suka menghidangkan kopi sambil berkata, “Urip iki mung mampir ngombe.” (Joko Pinurbo, 22.31-28 Januari 2012)
Hari itu kami bertamasya ke kebun teh. Dalam paket tamasya ini kami diajak untuk berkeliling kebun sembari praktik memetik pucuk daun teh terbaik, lalu blusukan ke dalam pabrik sambil melihat proses pengolahan daun teh dan rehat sejenak di cafe milik pabrik sambil belajar cupping teh. Cupping ini semacam proses menyesap seduhan teh untuk ngetes kualitasnya. Caranya dengan menyesap sedikit air seduhan teh dengan menariknya melalui mulut yang terkuncup dengan hentakan cepat dibarengi tarikan nafas dari hidung.
Sret! Kepala saya pun langsung pusing. Menurut mas waiter yang memandu kami, efek pertama kali cupping memang seperti itu, pusing. Padahal seduhan teh yang disuguhkan ke kami untuk dicoba adalah the finest tea yang diproduksi oleh pabrik itu. Teh terbaik ini - teh putih - tak dijual di negeri sendiri alias di ekspor ke negara lain. Meski labelnya teh terbaik, tapi jujur saja lidah saya tak bisa menikmati di mana letak ke-enakan-nya. Ketika saya mengutarakan hal itu, mas waiter pun bercerita panjang lebar tentang teh dan lidah kita.
Menurutnya kita tak terbiasa dengan teh terbaik karena dari sejak awal kita telah dicekoki dengan teh kualitas rendah. Teh-teh yang biasa kita nikmati, dengan aroma melati, dikemas dalam botol beling, botol plastik, dalam kotak, atau es teh yang biasa kita minum di warung-warung sebagai pendamping soto, rawon dan pecel, yang sudah lebih dulu merasuk ke memori kita, sebenarnya bukan seduhan pucuk daun teh (terbaik). Air teh itu berasal dari seduhan pangkal daun teh hasil sortiran dicampur batang pohon teh, yang dirajang dan diproses sedemikian rupa agar bisa diseduh. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Belanda menjejakkan kaki di negeri kita. Mereka hanya membolehkan kita meminum teh kualitas nomor sekian. Teh nomor satu sampai tiga-nya dikirim ke negeri mereka untuk diperdagangkan. Jadi wajar jika saat ini kita tak bisa mengenali teh terbaik yang ditanam di tanah kita sendiri.
Lalu bagaimana dengan kopi? Ceritanya sebelas dua belas dengan teh.
Warung-warung kopi tradisional di Jawa menjadikan kopi pahit atau kopi hitam sebagai suguhan utama. Nggereng, atau angger ireng yang artinya asal hitam sudah menjadi trade mark penikmat kopi tradisional. Istilah itu sudah cukup menggambarkan betapa orang kita lebih senang kopi yang pokoknya hitam, pokoknya pahit. Bahkan di beberapa daerah, untuk mengejar kepekatan warna dan kepahitan rasa (dan keuntungan lebih tinggi tentunya), ketika proses roasting, kopi dicampur dengan karak (nasi kering), jagung atau beras, lalu ditumbuk bareng untuk jadi bubuk kopi.
“Orang sini tidak begitu familiar dengan Arabica, kopi yang memiliki banyak cita rasa. Orang sini lebih suka Robusta, yang hitam dan pahit.”, kata seorang expert kopi dari pabrik yang masih satu perusahaan dengan pabrik teh di atas. Dia lalu berkisah kepada saya, kenapa orang Indonesia tidak begitu familiar dengan Arabica. Ketika Belanda menguasai Indonesia, mereka memaksa kebun dan pabrik kopi untuk melepas Arabica - yang harganya lebih mahal - hanya ke pasar Eropa. Mereka hanya menyisakan Robusta - yang lebih murah - untuk dikonsumsi orang lokal. Sejak saat itu, dalam benak orang sini langsung tertanam ketika bicara kopi ya Robusta, yang hitam dan pahit.
Sepulang dari kebun dan pabrik teh itu, saya tetap mengkonsumsi teh dalam kotak, teh dalam botol dan teh racikan ibu saya, yang setelah saya amati memang banyak batangnya daripada daunnya. Tapi ya sudahlah, apa arti label terbaik jika lidah kita tak bisa menerimanya. Apalah arti terbaik jika dia tak mampu menghadirkan memori kehangatan rumah (dan rumah makan) seindah memori yang dibawah oleh seduhan teh-teh kualitas afkiran.
Toh urip ki mung mampir ngombe!
#haduhakudifollow
#jokopinurbo
Comments
Post a Comment